Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017
meninggalkan catatan yang fenomenal. Baik secara personality hingga ke ranah
politis. Banyak sisi menarik yang layak dikupas dan dibahas seputar profil ‘Si
Tukang Kayu’ itu, bahkan Jokowi mampu menjungkirbalikkan konstelasi politik di
daerah yang selama ini terkenal dengan kemapanan politiknya.
Tidak dapat
dipungkiri lagi, Jokowi mampu ‘menyihir’ perpolitikan nasional dengan gayanya
yang khas, hal ini sebanding dengan adagium; suara rakyat adalah suara Tuhan!!!
Sampai-sampai tujuh stasiun telivisi nasional menayangkan secara langsung
pelantikannya (Senin, 15/10) sebagai Gubernur hal ini benar-benar sebuah
fenomena yang tidak akan dapat dicerna dengan singkat.
Bahkan warga
Kota Solo pun setengahnya ‘keberatan’ atas terpilihnya Jokowi tersebut.
Kenyataan ini justru sebagai bukti bagaimana Jokowi mampu menempatkan rakyat
pada posisi yang semestinya.
Namun demikian ada beberapa hal yang layak dicermati bagi warga Solo
sepeninggal Jokowi ke Jakarta. Pertama, adalah keberlanjutan
kepemimpinan yang selanjutnya akan dipimpin FX. Hadi Rudyatmo sebagai Walikota
Solo. Sementara, prosesi suksesi Wawali sebenarnya akan menjadi titik balik
keberlanjutan ‘masa keemasan’ Kota Solo kedepan. Bila kurang tepat dalam
memilih Wawali tidak tertutup kemungkinan prestasi yang diraih Solo selama ini
dapat menguap karena akan terputusnya gaya kepemimpinan ‘cerdas kreatif’ yang
dirintis Jokowi selama ini dan bahkan ancaman konflik pun dapat memuncak.
Kedua, program pembangunan yang telah tertuang dalam RPJMD
hasil penginggalan Jokowi perlu mendapat penajaman dibeberapa sisi; terutama
masalah kesehatan dan kebersihan. Salah satu prestasi yang tidak mampu diraih
Jokowi adalah Adipura. Memang bukan suatu ukuran baku akan prestasi pemerintahan,
namun sesuai kemanfaatan ditengah masyarakat bidang ini memiliki urgensi yang
sangat vital. Dalam hal manajemen pengelolaan sampah, Kota Solo harus segera
berbenah agar kedepan tidak menjadi beban yang semakin sulit diurai.
Ketiga, adalah partisipasi warga masyarakat dalam
keikutsertaannya menjadikan Kota Solo seperti apa yang telah diidealitakan
Jokowi. Masih banyak katub-katub partisipasi masyarakat yang tersumbat. Dan hal
ini tidak saja menjadi tanggungjawab Pemkot Solo untuk membukanya, namun semua pemangku
kepentingan (stake holder) harus meletakkan kesadaran bahwa partisipasi
masyarakat adalah syarat mutlak keberlangsungan pembangunan yang demokratis.
Ambil contoh adalah partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan di
tingkat paling bawah (RT/RW) hingga Musrenbangkel; ternyata masih sering
terjadi proses perencanaan pembangunan itu yang dilakukan secara srampangan karena
hanya mengejar formalitas, belum mampu menyentuh pada substansi perencanaan
pembangunan.
Masih ada satu fenomena setelah kepindahan Jokowi ke Jakarta yang perlu
mendapat perhatian; hal itu adalah euforia. Ya kemenangan Jokowi memang membuat
beberapa kelompok masyarakat meluapkan kegembiraan sebagai ungkapan kekaguman,
kondisi ini sebenarnya sah-sah saja. Akan menjadi sesuatu yang ganjil dan
kurang elegan manakala ada upaya mobilisasi pejabat publik (Camat dan Lurah)
untuk mengungkapkan euforia itu secara masif.
Apakah acara pamitan beberapa waktu lalu masih dirasa kurang? Dengan dalih
apapun; seperti kunjungan kerja, misalnya, namun kenyataannya waktunya menjadi
tidak tepat.
Dapatkah Jokowi dan
Basuki menyelesaikan masalah tersebut sendirian? Tentu saja tidak mungkin.
Permasalahan ibukota yang sangat kompleks tersebut membutuhkan kerjasama dari
semua pihak. Tidak hanya Jokowi-Ahok. Bukan hanya PDIP dan Gerindra. Tapi
seluruh elemen masyarakat serta pemerintah DKI, harus bersinergi dan bersatu.
Semoga dengan
terpilihnya Jokowi, Jakarta dapat menjadi lebih baik. Jakarta memang bukan
Solo, tapi dengan semua program cemerlang yang dikampanyekan oleh Jokowi-Ahok
serta kerjasama dari berbagai pihak, niscaya cita-cita Jakarta yang lebih aman,
nyaman, ramah dan sejahtera dapat terwujud.
Sumber :